Makan Babi Ambat Adat Batak Simalungun Terjadi Sebelum Mengenal Agama. Sebagai Batak Simalungun kita sudah tahu bahwa babi sudah menjadi salah satu konsumsi daerah simalungun ketika melakukan pesta ( Pernikahan atau Acara Pemakaman dan lain – lain ). Daging babi dimasak dengan 2 macam. Dan pada zaman modern ini sering di jumpai 2 jenis masakan tersebut yaitu masak Saksang dan di sop. Meskipun ada di panggang dan jenis masakan lainnya.
Namun pernahkah anda tahu bahwa sebelum masuk zaman modern. Nenek moyang suku Batak Simalungun sudah mengenal istilah Mangan Babi Ambat atau Makan Babi Ambat. Yang dimana hal ini dilakukan bersama dengan Datu, tokoh yang dituakan dan penduduk desa untuk memaklumkan ancaman yang datang.
Nah, berikut ini kami akan mengambil sebuah Kisah Pendeta J Petrus yang ditulis pada bukunya. Tentu kisah ini mempunyai sejarah yang sangat perlu dikisahkan atau di informasikan kepada masyarakat simalungun untuk mengetahui hal yang kurang diketahui ini. Yang dimana sebenarnya makan babi masih dilaksanakan pada zaman modern ini. Namun harus juga di ceritakan hal ini sebagai budaya simalungun sebelum masuknya agama di daerah simalungun.
Tuhan Memeliharakan dan Menjaga
Tuhan Mengirimkan Makanan
Allah tidak mau direndahkan. Firman-Nya benar adanya dan akan digenapi-Nya. Asalkan tetap dalam Firman-Nya, seperti janji-Nya: ” …… carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” ( Mateus 6:33).
Pada tahun 1945, keadaan mulai normal. Para kaum priapun sudah mulai kembali mengerjakan ladang masing-masing. Dan terjadilah pada suatu hari sesuatu yang sungguh membuat kami haru dan penuh syukur pada Tuhan. Anak-anak sekolah berbaris datang dihalaman rumah kami sambil membawa padi dalam bakul dikepalanya. Kami terkejut bercampur haru. Rupanya diluar pengetahuan kami, para orangtua anak-anak sekolah rupanya sudah sepakat, masing-masing akan memberikan gugu-nya satu kaleng padi setiap tahunnya. Kami takkan pernah melupakannya.
Dan demikianlah terus sampai tahun 1947. Kami tidak pernah lagi kekurangan makanan. Bahkan berlebihan. Ketika terpaksa mengungsi pada tahun 1947, karena aksi Agresi Belanda, kami masih mempunyai banyak padi, namun terpaksa ditinggalkan. Tidak mungkin dibawa lebih daripada yang dapat. Sungguh kami sangat berterima-kasih pada penduduk par Pangambatan. Dan diatas semuanya itu terpujilah Tuhan karena Firman-Nya benar, bahwa Tuhanlah Gembala dan Pemelihara jiwa kita, seperti disaksikan oleh Nyanyian Jemaat “Haleluya” No 127: 1 (yang diambil dari Mazmur 23, Tuhan adalah Gembalaku)
Jahowa Siparmahan Au, aha pe lang hurangni.
Na Sambor pe sai ipadaoh, do humbani pinahan-Ni
Tudu ibaen na lanbut in, lao pagoluhkon tonduyhin
Ibaen holong atei – Ni.
Tuhan Menjaga dari Kuasa Gelap
Tidak lama setelah Kemerdekaan RI diperdengarkan, tersiarlah kabar bahwa Belanda akan datang lagi untuk menjajah. Datu dan tokoh yang dituakan mengumpulkan penduduk desa dan memaklumkan ancaman yang datang. Untuk itu, demikian sang datu, akan diadakan upacara ”mangan babi ambat“, yaitu semacam acara tolak bala dengan makan bersama penduduk desa, dengan makanan tradisional setempat yaitu babi. Tujuannya menolak niat jahat musuh, penyakit atau mara di kampung kami Pangambatan.
Sesuai dengan pesan datu tersebut, maka seluruh kepala-kepala keluarga dikumpulkan dibawah pimpinan yang dituakan, dan semua sepakat bahwa upacara tersebut harus jadi. Barang siapa yang tidak ikut, kepada merekalah akan datang segala mara tersebut menerpa. Itulah keputusan kesepakatan satu desa.
Selaku Guru itengah-tengah orang Kristen yang masih begitu muda, dengan mengandalkan kuasa Yesus saya mengumpulkan majelis jemaat dan beberapa orang lainnya yang sudah Kristen untuk membahas hal ini dan menentukan sikap. Keputusan kami hanya satu: Kami yang sudah berbakti kepada Tuhan tidak akan ikut dalam upacara makan babi ambat. Kami tetap pada keyakinan percaya kami bahwa hanya Tuhan Allah yang dapat menjaga dan melindungi kami dari segala mara yang akan datang.
Kuasa Yesus benar bekerja. Seminggu sudah berlalu upacara makan babi ambat tersebut. Tidak ada dari kami yang terkena apapun. Walaupun karena hal itu beberapa warga desa sempat menunjukkan dendam pada kami.
Sumber Dari Kisah Pendeta J Petrus Purba ( 1916 – 2004 ) buku judul : Kemuliaan – Mulah Yang Kurindukan Ya Allah https://kemuliaanmulahyangkudambakanyaallah.wordpress.com/bab-v-1939-50-dasa-warsa-penuh-pergumulan-dan-berkat/tuhan-mengantarkan-makanan/
Dan ternyata acara ini juga di temukan pada Suku Batak Toba. Dan juga mempunyai memiliki tujuan yang sama. Berikut di bawah ini dapat anda lihat di bawah ini.
Babi Ambat Juga Sebagai Adat Pada Suku Batak Toba
Dalam suku Batak Toba Mangan babi ambat ini dikenal dengan Mangallang Babi Ambat. Mangallang babi ambat adalah upacara memakan babi sebagai penghambat berjangkitnya wabah penyakit seperti rojan Sibumbung ( Kolera ) dan nge – nge ( Cacar air ) yang dilakukan masyarakat Batak Tobba di kaki gunung Pusuk Buhit di tepi Danau Toba. Mereka mempercayai bahwa penyebab timbuknya wabah penyakit karena Raja Toba kalah berjudi melawan Raja Ijau sehingga memohon kepada Mula Jadi na Bolon dan para Sombaon ( Keramat ) agar melindungi warga desa. Sumber Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia https://dapobud.kemdikbud.go.id/objek-tak-benda/5c0b8db29c9e7742ee06b992/manggalang-babi-ambat